Pertama-tama saya memohon maaf apabila tulisan ini tidak sesuai yang anda harapkan. Dalam bahasa jurnalisme, penulisan judul semacam ini dinamakan strategi Clickbait. Tulisan ini tidak akan mengajarkan bagaimana cara menembus Trending di Youtube atau menjadi Trending Topic di jagat Twitter melainkan mengupas fenomena mengapa suatu isu kesehatan mampu menjadi isu yang viral di masyarakat yang saat ini masih terkurung pandemi. Sekali lagi, mudah-mudahan anda tidak kecewa dan berkenan untuk membaca hingga tuntas.
Pandemi Covid 19 nampaknya masih belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Puncak dari kurva kasus belum terlihat tapi kita mulai melihat puncak dari kesabaran. Semua aspek kehidupan berubah dalam sekejap, termasuk dunia kesehatan. Hal-hal remeh terkait kesehatan yang dulu dilupakan kini menjadi perhatian. Setiap saat mencuci tangan. Sementara kesembuhan menjadi penantian maka para ilmuwan menjadi perhatian. Penelitian menjadi sebuah harapan dan penemuan apapun menjadi bahan sorotan.
Pandemi ini juga menyadarkan kita akan pentingnya budaya literasi dan betapa erat kaitan antara kesehatan dan perekonomian. Dikaitkan dengan isu ini, kita menyaksikan berbagai fenomena yang silih berganti. Rasanya sebelumnya belum pernah media sosial kita dipenuhi dengan berbagai berita seperti sekarang ini. Grup-grup yang sebelumnya hanya dipenuhi candaan dan gunjingan kini dipenuhi dengan berita sana sini yang entah bersumber darimana. Dari mulai penggunaan klorokuin, mengunyah batang kina, menaruh bawang merah di kamar, hingga meneteskan minyak kayu putih di lidah datang silih berganti. Dampaknya permintaan pasar akan barang-barang tersebut kemudian membludak dan menyebabkan kenaikan harga hingga kelangkaan.
Sebagai akademisi tentu kita adalah sosok yang dipercaya memberikan klarifikasi akan isu-isu yang beredar. Menarik untuk memahami bagaimana suatu isu kesehatan dapat berkembang di masyarakat dan menyebabkan permintaan pasar bergejolak atau dalam bahasa saat ini menjadi “Viral.” Pada 14 September 2019 opini saya dimuat dalam Surat Kabar Nasional “Pikiran Rakyat” dengan judul Viralitas Berita Kesehatan dan nampaknya masih sangat relevan untuk disampaikan saat ini. Izinkan saya mengutip tulisan tersebut.
Dunia kesehatan sedang naik daun. Atau selalu naik daun?
Belakangan marak pemberitaan penemuan obat kanker. Jagat maya maupun nyata membicarakan prestasi siswa-siswi SMA di Palangkaraya dalam World Invention Creativity Olympic 2019 di Seoul pada Juli silam. Mereka mendapat prestasi sebagai juara dunia atas penemuannya terkait dengan pemanfaatan tanaman khas Kalimantan, akar bajakah, sebagai obat anti kanker pada tikus putih.
Prestasi anak-anak ini memancing perhatian masyarakat. Berbondong-bondong orang berburu bajakah. Testimoni mendadak bermunculan. Harga akar bajakah di pasaran konon sempat menembus jutaan rupiah per kilogram. Pedagang marema. Warga menaruh asa. Namun, kalangan saintis curiga.
Beberapa anggapan skeptis beredar untuk mengimbangi viralnya berita tersebut. Misalnya tentang uji farmakologi yang dilakukan siswa-siswi ini belum memenuhi syarat perhitungan statistik. Penggunaan sel tumor yang belum pasti dan sebagainya. Wajar muncul banyak pertentangan mengingat proses normal untuk penemuan obat baru membutuhkan waktu hingga 20 tahun. Sedangkan kini klaim-klaim yang overrated bermunculan tentang obat dewa ini.
Sebetulnya fenomena-fenomena serupa di masyarakat kita terjadi sejak sebelumnya. Awal tahun 2000an mencuat penggunaan buah merah Papua, berganti dengan kulit manggis, sirih merah, daun sirsak, mahkota dewa, mengkudu, dan sebagainya. Tanaman-tanaman muncul silih berganti, dan anehnya tetap saja masyarakat suka.
Seorang Profesor dari Wharton School of the University of Pennsylvania bernama Jonah Berger mengemukakan teori tentang hal ini dalam beberapa tulisannya. Berger adalah pakar dalam bidang pemasaran, khususnya yang berkaitan dengan mulut ke mulut, viralitas dan pengaruh sosial. Dalam salah satu bukunya, Contagious: Why Things Catch On ia mengemukakan mengapa suatu gagasan atau fenomena dapat menjadi viral. Dalam hal ini, bidang kesehatan.
Menurutnya, terdapat 6 tahap hingga suatu gagasan dapat menyebar secara luas. Social currency atau nilai sosial, trigger atau pemicu, emotion atau emosi, public atau umum, practical value atau nilai praktis, serta stories atau cerita. Disingkat dengan STEPPS. Mengikuti skema ini kita bisa menemukan penjelasan ilmiah tentang alasan di balik viralnya berita tentang kesehatan.
- Social Currency
Pertama, sifat alami manusia untuk memikirkan bagaimana mereka terlihat di mata orang lain. Kecenderungan penilaian akan suatu gagasan berkutat pada apakah gagasan itu dapat membuat kita dipandang lebih tinggi di mata orang lain. Melalui perkembangan media sosial mudah sekali untuk mendapat dan membagikan suatu berita. Membagikan berita adalah salah satu bentuk tindakan untuk membuat orang memandang kita lebih cerdas.
- Trigger
Kedua, fenomena yang membuat suatu gagasan “menempel” di kesadaran kita adalah apakah ada pemicu yang memunculkan kembali gagasan tersebut. Dalam hal ini, kita bisa lihat bahwa fenomena seperti kanker yang masih merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbanya di dunia akan sering sekali ditemui sehingga mudah untuk memicu munculnya kembali gagasan tentang obat kanker.
- Emotion
Ketiga, faktor penyebaran gagasan sangat erat dipengaruhi dengan unsur emosi. Emosi yang lebih mudah untuk bereaksi adalah emosi yang berkaitan dengan keadaan siaga seperti marah, takut, atau takjub. Kengerian akan penyakit mematikan seperti kanker adalah motivasi utama untuk mencari dan membagikan berita tersebut ke kenalannya dengan tujuan agar berita itu dapat bermanfaat.
- Public
Empat jumlah publik yang berminat. Masih dengan alasan demografi, publik cenderung membagikan gagasan yang dibutuhkan secara luas.
- Practical Value
Kelima, nilai kepraktisan. Kebanyakan viralitas berita kesehatan bersumber dari penemuan tanaman. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa tanaman mudah untuk dicari dan digunakan (cukup dengan perebusan).
- Stories
Terakhir adalah adanya aspek cerita atau penyampaian latar belakang dari sebuah gagasan. Kebanyakan penemuan obat baru dibumbui dengan cerita-cerita berupa testimoni pengguna. Dalam hal bajakah, cerita yang disampaikan ditambah dengan nilai tambah berupa asal tanaman yang merupakan tanaman asli Kalimantan serta faktor usia peneliti yang terbilang sangat muda.
Maraknya penemuan-penemuan ini sangat bernilai positif bagi pengembangan obat baru dari Indonesia mengingat keberagaman hayati yang ada di negeri ini belum banyak tereksplorasi ke mancanegara. Namun hal ini mesti diimbangi dengan rasionalitas dan akal sehat yang bijak sebelum bertindak.
Bapak toksikologi, Paracelsus mengingatkan bahwa “Semua zat yang masuk ke tubuh adalah racun. Dosis atau takaran lah yang menjadikannya obat.” Air dan udara sekalipun dalam jumlah yang berlebihan akan mengakibatkan bahaya. Apalagi tanaman yang mengandung banyak sekali senyawa kimia. Pastikan untuk selalu menanyakan pada ahlinya dan menahan diri untuk tidak selalu menelan mentah-mentah apalagi membagikan begitu saja pada orang lain.
Sebuah ungkapan sempat populer di jagat Twitter. Lidah tak bertulang, jempol tak berotak. Mari berpikir sebelum membagi.
Tulisan ini mendapat respon yang cukup baik di kalangan umum. Rupanya fenomena ini tetap relevan di zaman seperti apapun khususnya di tengah perkembangan informasi dan teknologi yang pesat ini. Maka dari sini kita bisa memahami alasan di balik betapa cepatnya informasi-informasi baru bermunculan. Mudah untuk memprediksikan dalam beberapa bulan yang akan depan akan semakin berkembang berbagai informasi baru seperti vaksin, obat anti-covid dan penemuan-penemuan lainnya. Dengan memahami ini maka akan sangat membantu kita dalam merancang strategi untuk melawan kesalahan-kesalahan informasi di masyarakat dengan menggencarkan penyebaran informasi yang benar di masyarakat.
Let’s think before believe and check before share.
Dibuat Oleh : Apt. Rd. Aldizal Mahendra RS, M.Farm.
