Semenjak dunia berkembang dan dihuni oleh flora, fauna dan kemudian manusia serta makhluk hidup lainnya sudah dikenal ada penyakit dan usaha untuk mengobatinya. Keadaan “sehat” dan “sakit” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi semua makhluk hidup di dunia insani, dunia binatang maupun tumbuh-tumbuhan sekalipun.
Sejarawan serta ilmuwan-ilmuwan dahulu telah berusaha memikirkan, mencari dan mendokumentasikan usaha-usaha pengobatan untuk mengatasi penyakit dimulai dari coba-coba untuk menyembuhkan penyakit dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di alam hingga mencoba mencari tahu kenapa bahan-bahan tersebut dapat mengobati suatu penyakit. Miller, 2004, melaporkan bahwa manusia purba atau manusia yang hidup primitif (dimana akal masih kurang berkembang) eksistensi kehidupannya, masih banyak dipengaruhi oleh naluri. Bagaimana keadaannya dengan manusia primitif yang sakit atau kekurangan akan suatu zat hara dalam sistem faalnya? Contoh berikut dapat memberikan suatu gambaran: Suatu suku primitif mempunyai kebiasaan memakan tanah. Mulanya hal ini mengherankan, tetapi setelah diadakan penelitian lebih mendalam ternyata ada dua hal yang berkaitan yaitu pertama, tanah yang dimakan banyak mengandung zat besi (Fe); kedua, diet sehari-hari suku tersebut kurang akan zat besi. Secara naluriah suku itu mencari zat besi dari tanah, sehingga mereka tidak akan menderita penyakit anemia karena kekurangan zat besi. Hal serupa mereka meniru perilaku binatang di alam sekitarnya.
Penduduk di pulau-pulau yang tersebar di Nusantara telah lama mengenal dan menggunakan obat Herbal. Penduduk di pulau Jawa secara jelas menyebutnya dengan nama Jamu. Jamu dikenal sejak zaman pra-sejarah, bukti asal usul jamu ditemukan melalui peralatan batu zaman Mesolithikum dan Neolithikum, berupa lumpang yang telah digunakan oleh nenek moyang untuk memperoses makanan dan jamu.
Data artefakt di bidang pengobatan ditemukan pada relief Karmawipangga di candi Borobudur, relief candi Brambang komplek candi Prambanan yang dibangun sekitar abad 8-9 Masehi, juga candi Panataran, Sukuh dan Tekalwangi. Relief pada candi Borobudur menggambarkan pembuatan jamu menggunakan pipisan untuk perawatan kesehatan dengan pemijatan dan penggunaan ramuan jamu atau Saden Saliro. Sejak abad 5 Masehi, bukti tertulis mengenai penggunaan jamu dalam pengobatan ditemukan pada naskah atau primbon. Terbukti dengan adanya prasasti candi Perot tahun 772 Masehi, Haliwangbang tahun 779 Masehi, dan Kadadu tahun 1216 Masehi. Penggunaan jamu dan resep-resep jamu dalam pengobatan juga ditemukan pada daun lontar menggunakan bahasa jawa kuno, Sansekerta dan Bahasa Bali. Lontar yang ditulis dengan menggunakan bahasa bali yaitu: Usada atau Lontar Kesehatan pada tahun 991 – 1016 Masehi. Berbagai prasasti lainnya pada sekitar abad 13 Masehi mendukung bukti sejarah penggunaan jamu. Pada prasasti tersebut banyak memuat profesi dibidang kesehatan antara lain terdapat pada prasasti Madhawapura yang menyebutkan profesi ACARAKI atau peracik Jamu.
Istilah jamu muncul pada zaman Jawa Baru, dimulai sekitar abad pertengahan 15-16 Masehi. Menurut pakar bahasa Jawa Kuno, jamu berasal dari singkatan dua kata, Djampi dan Oesodo. Djampi adalah bahasa Jawa Kuno yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa doa dan ajian-ajian dan Oesodo berarti kesehatan. Kata Djampi kenal sebagai bahasa jawa Kromo Inggil yang digunakan oleh Priyayi Jawa. Sedangkan istilah yang digunakan oleh masyarakat umum (Bahasa Jawa Madyo) untuk pengobatan adalah jamu yang diperkenalkan oleh dukun atau tabib, ahli pengobatan tradisional pada masa itu. Primbon terlengkap mengenai Djampi baru ditulis setelah zaman kerajaan Kartosuro adalah Serat Centhini yang ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Adipati Anom Amengkunegoro III yang memerintah Surakarta pada tahun 1820-1823 Masehi dan Serat KaoroBap Djampi-Djampi atau tulisan pengetahuan tentang jamu Jawa yang ditulis pada tahun 1858 Masehi memuat sebanyak 1734 ramuan Djampi. Catatan yang sudah menggunakan istilah jamu ditemukan pada Serat Parimbon Djampi Ingkang Sampoen Kangge Ing Salami-laminipoen tahun 1875 Masehi dan buku RESEP. Berbagai karya tulis tentang tanaman di Nusantara yang berkhasiat obat, pencegahan penyakit serta pengobatan yang pada berbagai etnis di Indonesia berperan cukup besar dalam perkembangan pengetahuan tentang jamu di Indonesia.
Perkembangan jamu selaras dengan kemajuan budaya dan kearifan lokal serta tuntutan ekonomi pengaruh luar. Jamu awalnya diracik sendiri, berangsur menjadi bahan kering racikan bernilai ekonomi yang diperjual belikan. Bentuk jamu yang populer di masyarakat dan umum dijajakan keliling oleh kaum perempuan adalah jamu gendong. Produksi jamu gendong diawali pada abad 16 Masehi dan berkembang menjadi industri jamu skala rumah tangga yang dirintis oleh Ny. Item dan Ny. Kembar di Ambarawa, Jawa Tengah pada tahun 1825. Di awal tahun 1900an, industri jamu semakin berkembang seiring dengan trend “Back to Nature” yang melanda pasar di dunia.
Saat ini, jamu secara umum produksinya dilakukan oleh Industri jamu ataupun industri obat. Industri jamu meracik jamu secara higienis dengan bahan-bahan yang sesuai dengan persyaratan pemerintah. Dikenal lima tanaman unggul, yakni pegagan (Centella asiatica), temulawak (Curcuma xanthorrizha roxb), sambiloto (Andrographis paniculata-burms. F-ness), kencur (Kaempferia galanga, Linn.) dan jahe (Zingiber officinale roxb), sebagai dasar pembuatan jamu yang nantinya digunakan sebagai bahan jamu untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Hasil survey kepada responden konsumen menunjukkan bahwa industri jamu terbesar adalah Sido Muncul (top of mind) disusul oleh industri Nyonya Meneer, Jamu Djago, Deltomed, Jamu Orang Tua Group, Air Mancur serta Borobudur (Saerang, 2009).
Berkat industri-industri ini, jamu yang dulunya hanya digunakan oleh kalangan terbatas, kini dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Jamu menjadi mudah diperoleh di seluruh pelosok negeri, bahkan sampai diekspor ke mancanegara. Penggunaan jamu menjadi sangat khas, yaitu sebagai pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan, kebugaran, relaksasi dan kecantikan. Produk jamu kini telah diproses secara modern dengan menggunakan teknologi terbaru, baik dalam pengolahan, pengemasan dan pengujian secara klinis yang lebih terjamin. Standardisasi bahan baku, pengujian keamanan dan khasiat telah banyak dilakukan dan sistem produksi telah mengacu kepada cara pembuatan obat yang baik.
Berkembangnya obat herbal di Indonesia didukung oleh berbagai regulasi pemerintah. Diawali pada tahun 2004, pemerintah memfasilitasi pengembangan jamu dengan diterbitkannya peraturan menteri kesehatan No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan dengan tujuan memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Dimana, untuk sementara sebagai awal formula saintifikasi jamu terbatas yakni pada khasiat sebagai antihipertensi, antihiperglikemia, antikolesterol serta antihiperurisemia. Sejalan dengan peraturan menteri kesehatan pada tahun yang sama diterbitkan keputusan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor: HK.00.05.4.2411, tahun 2004, menggolongkan obat tradisional berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, dikelompokkan menjadi:
a. Jamu
b. Obat Herbal Terstandar
c. Fitofarmaka
Di pasaran, pengelompokkan sediaan obat herbal tersebut ditandai dengan logo-logo sediaan obat herbal

Semua ini dilakukan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam penjaminan mutu obat herbal serta perlindungan konsumen agar memperoleh produk kesehatan secara aman dan berefek sesuai harapan. Mimpi besar kita adalah semoga salah satu warisan leluhur dan kekayaan bangsa ini yaitu obat herbal di Indonesia dapat segera disejajarkan penggunaannya oleh semua pihak sebagaimana obat-obat sintetik yang sudah lebih dahulu establish kehadiranya dalam dunia pegobatan.
Daftar Pustaka
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2004, Ketentuan Pokok Pengelompokkan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, No. HK. 00.05.4.2411, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2010, Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, no: 003/MENKES/PER/I, Jakarta.
Dewoto R. Hedi, 2007, Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka, Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Miller, G., 2004. History of Pharmacy-A Look Back at The Past and A Vision For The Future, Pharmaceutical Society of Australia’s Home Page.
Supriyatna, Moelyono, Iskandar Yoppi, dan Febriyanti Maya, 2014, Prinsip Obat Herbal, Penerbit Deepublish, Jogjakarta.
Created By : Apt. Deden Winda Suwandi, M.Farm.
